Ketika Sentimen Agama Bertarung Dengan Nalar
 Kutipan dari facebook
Jokowi Atau Prabowo : "Ketika Sentimen Agama Bertarung Dengan Nalar"
Ditulis Oleh : Maulana M Syuhada
Maulana M. Syuhada
Pengunjung setia perpus ITB
posting asli disini
Jokowi Atau Prabowo : "Ketika Sentimen Agama Bertarung Dengan Nalar"
Ditulis Oleh : Maulana M Syuhada
Saya perhatikan, baik di sosial media maupun di lingkungan sekitar 
saya, sebagian dari mereka yang memutuskan untuk mendukung Prabowo 
didasari oleh sentimen agama. Rumor bahwa Jokowi adalah Kristen dan 
orang tuanya adalah keturunan Tionghoa semakin menguatkan sentimen 
tersebut, walau tidak pernah diketahui secara pasti seberapa besar 
pengaruhnya. Masyarakat yang gampang terhasut dan enggan melakukan 
cek-recek informasi, dengan mudah termakan oleh rumor tersebut.
Mereka yang melek informasi tahu bahwa Jokowi adalah seorang muslim. 
Orang tua dan semua adik-adiknya sudah berhaji. Kampanye hitam yang 
menyerang keislaman Jokowi menjadi bumerang ketika terungkap bahwa Ibu 
dari Prabowo beragama Kristen, begitu pula dengan kakak dan adiknya, 
semuanya beragama Kristen. Adik prabowo, Hashim S. Djojohadikusumo, 
merupakan Ketua Dewan Pembina KIRA (Kristen Indonesia Raya), organisasi 
sayap Kristen partai GERINDRA (kepengurusan KIRA dapat dilihat pada 
situs resmi KIRA di http://www.kiragerindra.org/index.php/content/page/11)
Walau Jokowi terbukti seorang muslim, bagi sebagian muslim itu tidak 
cukup, karena di belakangnya ada PDIP. Bagi mereka, PDIP adalah partai 
Kristen, sehingga mendukung Jokowi sama saja dengan mendukung Kristen. 
Padahal kita semua tahu bahwa baik PDIP maupun GERINDRA, keduanya 
bukanlah partai Kristen.
Saya tidak pernah menjadi simpatisan 
partai manapun. Saya malah cenderung apatis terhadap partai politik. Hal
 ini merupakan dampak dari kekecewaan saya terhadap tingkah-laku 
sebagian anggota DPR yang korup dan seringkali tidak berpihak pada 
rakyat. Jadi bagi saya sama saja, apakah itu partai islam atau partai 
nasionalis, semuanya bermasalah. Ketua Partai Demokrat tersangkut 
korupsi Hambalang, presiden PKS tersangkut korupsi sapi, ketua PPP 
tersangkut korupsi haji, ketua Partai Golkar tersangkut kasus lumpur, 
ketua Partai Gerindra pernah dipecat dari TNI, dan sebagainya. Semua hal
 di atas bukanlah rumor, tapi fakta. Jadi tidak ada satu pun partai di 
Indonesia ini yang bebas dari masalah.
Saya bukan fans-nya PDIP 
dan tidak pernah seumur hidup pun (sampai sekarang) menjadi simpatisan 
PDIP. Namun harus saya akui secara objektif bahwa PDIP membuat terobosan
 baru dengan menghadirkan Ibu Risma di Surabaya, Pak Ganjar di Jawa 
Tengah, serta Pak Jokowi di Solo dan DKI. Saya juga mengapresiasi 
GERINDRA yang mengusung Ahok di DKI dan Ridwan Kamil di Bandung. Ketika 
PILKADA dan PILEG, saya tidak peduli dengan partai pengusungnya. Bagi 
saya semua partai politik sama bobroknya. Yang saya lihat adalah 
tokohnya. Karenanya di PILEG kemarin, tiga tokoh yang saya pilih untuk 
DPR, DPRD I dan DPRD II, berasal dari tiga partai yang berbeda.
Sebagian orang masih saja mempermasalahkan bahwa jika Jokowi menjadi 
presiden, maka Ahok yang diusung oleh GERINDRA di PILKADA DKI Jakarta 
akan menjadi gubernur. Padahal Ahok itu non-muslim dan keturunan 
Tionghoa.
Kalau Ahok non-muslim dan keturunan Tionghoa memangnya 
kenapa? Sepanjang ia jujur, cerdas, tulus dan punya nyali untuk 
memberantas korupsi dan berbagai penyimpangan, kenapa harus 
dipermasalahkan agama dan keturunannya. Gubernur DKI sebelumnya tidak 
ada yang berani menyentuh Tanah Abang, tapi Ahok dengan keberaniannya 
membereskan Tanah Abang. DISKOTIK STADIUM di Jakarta sudah berdiri 16 
tahun, dan menjadi sarang maksiat, transaksi seks dan narkoba, namun 
tidak ada satu pun gubernur Jakarta (yang notabene selalu muslim) yang 
berani menutupnya, bahkan seorang Gubernur Jakarta yang berlatar 
belakang jenderal militer sekalipun seperti Bang Yos. Tapi Ahok, begitu 
mendapat mandat menjadi Plt Gubernur DKI, tanpa basa-basi langsung 
menutupnya. Jadi ketegasan itu tidak diukur dari apakah dia militer atau
 sipil; dan kejujuran juga tidak diukur dari apakah dia muslim atau 
bukan. Orang yang jujur, cerdas, tulus dan berani mati seperti Ahok ini 
yang kita perlukan untuk membenahi Jakarta. Tidak peduli apa agama dan 
etnisnya.
Saya bukan dan tidak pernah menjadi fans-nya ibu 
Megawati. Namun untuk PILPRES 2014 ini, kurang fair rasanya jika saya 
tidak memberikan apresiasi kepada Ibu Mega. Beliau adalah satu-satunya 
ketua partai yang tidak mencalonkan dirinya menjadi presiden. PDIP 
sering diidentikkan dengan keluarga Sukarno. Ibu Mega memiliki 
kesempatan dan kekuasaan untuk mencalonkan dirinya menjadi capres, namun
 dengan legowo ia serahkan posisi tersebut kepada Jokowi yang tidak ada 
hubungan darah sama sekali dengan keluarga Sukarno. Untuk menjaga 
keberlanjutan trah Sukarno, maka sangat logis jika Puan Maharani menjadi
 cawapres. Namun lagi-lagi dengan legowo, posisi cawapres diberikan 
kepada Jusuf Kalla, orang di luar PDIP. Saya sangat respek dengan sikap 
ibu Megawati tersebut, apalagi di tengah-tengah ambisi semua ketua 
partai politik yang berlomba-lomba ingin menjadi capres dan cawapres.
Ketika diresmikan menjadi capres, Jokowi menegaskan bahwa tidak akan 
ada bagi-bagi jatah kursi menteri dengan parpol koalisinya. Dia akan 
memilih sendiri menterinya dengan penilaian kapasitas dan kualitas. Yang
 ingin bergabung dengan koalisi PDIP, maka ia harus bergabung tanpa 
syarat, tanpa meminta jatah cawapres atau menteri. Terbukti, baik ketua 
partai NASDEM, PKB maupun HANURA, tidak ada satupun yang menjadi 
cawapres. Jokowi membuktikan bahwa dirinya memiliki sikap tegas, karena 
tegas itu bukan diukur dari suara yang tinggi berapi-api, tapi dari 
keputusan yang tidak mengenal kompromi.
MataNajwa edisi “Jokowi 
atau Prabowo” yang ditayangkan METRO TV tanggal 28 Mei yang lalu membuka
 mata banyak orang tentang siapa orang-orang di balik Jokowi dan 
Prabowo. Sebagian kawan yang tadinya masih bingung, akhirnya menetapkan 
pilihan setelah melihat tayangan tersebut. Kubu Prabowo mengirimkan dua 
orang terbaiknya, Mahfud M.D. (Ketua Tim Pemenangan Prabowo – Hatta) dan
 Fadli Zon (Wakil Ketua Umum GERINDRA dan Sekretaris Tim Pemenangan 
Prabowo – Hatta). Tidak ada orang yang jabatannya lebih tinggi dari 
kedua orang ini di kubu Prabowo. Kehadiran mereka berdua dilengkapi oleh
 Ahmad Yani (Ketua DPP PPP).
Sementara kubu Jokowi diwakili oleh 
Anies Baswedan (Juru Bicara Tim Sukses Jokowi – JK), Maruarar Sirait 
(Ketua DPP PDIP), dan Adian Napitupulu (aktivis ’98 dan pendiri FORKOT).
 Bagi yang belum menonton, berikut link rekaman-nya: http://youtu.be/k-f7dEuydR0
Banyak orang yang memuji Pak Anies Baswedan karena penuturannya yang 
sangat baik, santun dan sistematis. Namun bagi saya informasi yang 
paling krusial malam itu adalah pemaparan Pak Mahfud M.D. yang 
membeberkan secara blak-blakan bahwa ia memilih bergabung ke kubu 
Prabowo karena sakit hati dengan PKB dan Pak Muhaimin Iskandar. 
Keputusan ini memiliki beban psikologis yang sangat berat ujar Pak 
Mahfud, sampai ia harus mengalami pergolakan batin selama tiga hari tiga
 malam, bahkan sampai mengucurkan air mata. Berbeda sekali dengan Pak 
Anies Baswedan yang dengan sangat rileks mengatakan “simpel”, tidak ada 
beban moral sama sekali ketika memutuskan pilihan kepada Jokowi – JK.
Pak Mahfud yang lugu kemudian membuka rahasia koalisi bahwa Fadli Zon 
mengatakan kepada dirinya, sebenarnya dalam hatinya Fadli Zon ingin Pak 
Mahfud yang menjadi cawapres bukan Pak Hatta. Bagi Fadli Zon “rayuan 
gombal” semacam itu adalah praktek yang biasa, karenanya seringkali 
kata-katanya tidak bisa dipegang dan dipertanggungjawabkan. Saya sangat 
bersimpati kepada Pak Mahmud yang lugu. Benar kata banyak orang, 
janganlah belanja dikala lapar. Janganlah membuat keputusan dikala sakit
 hati.
Hal lain yang santer dikampanyekan untuk menyerang Jokowi 
adalah ia pemimpin yang ingkar janji dan tidak jujur, karena belum dua 
tahun memimpin Jakarta sudah pergi mencalonkan menjadi presiden R.I. 
Sedangkal itukah definisi jujur dan ingkar janji? Sedangkal itukah 
kriteria yang kita gunakan dalam memilih calon presiden yang akan 
menentukan nasib 240 juta penduduk Indonesia? Fadli Zon yang selama ini 
sangat agresif menyerang Jokowi, tidak pernah bosan mengulang-ulang 
retorika “ingkar janji”.
Namun ketika Bang Ara mengatakan, bahwa 
Fadli Zon dan partai Gerindra lah yang memboyong Jokowi dari Solo dan 
mencalonkannya menjadi gubernur DKI Jakarta padahal masa tugasnya 
sebagai walikota Solo masih tiga tahun lagi, Fadli Zon harus menelan 
ludahnya sendiri. Mengapa Fadli Zon, seringkali tidak bisa jujur 
terhadap kata-kata yang diucapkannya? Sebagian dari kita tentu masih 
ingat ketika Prabowo mengatakan bahwa Fadli Zon sangat cocok untuk 
menjadi menteri pendidikan (Kompas, 12 Juli 2013). Apa jadinya anak-anak
 kita nanti, jika menteri pendidikan-nya memiliki sifat dan watak 
seperti Fadli Zon? Saya membayangkan menteri pendidikan itu seharusnya 
orangnya santun, cerdas, dan memiliki jiwa pendidik dan integritas moral
 yang tinggi seperti Pak Arief Rachman atau Pak Anies Baswedan.
Pak Jokowi tidak meninggalkan Jakarta. Tapi ia akan membangun Jakarta 
bukan dari balai kota, tapi dari istana negara. Seperti yang pernah 
beliau contohkan, untuk mengatasi macet di Jakarta, yang perlu dibangun 
bukan hanya di Jakarta saja, tapi harus disambungkan dengan Depok, 
Bogor, Tangerang dan Bekasi. Gubernur Jakarta tidak bisa mengkoordinir 
itu semua, semua kepala daerah harus setuju dan menandatanganinya. 
Contoh kongkrit adalah otoritas transportasi Jabodetabek yang sudah 
hampir 1,5 tahun tapi tidak pernah selesai karena masalah wewenang dan 
koordinasi. Jika ia menjadi presiden maka segalanya akan jauh lebih 
mudah, karena semua kepala daerah berada di bawahnya.
Pada 
Pilkada kota Solo yang pertama Jokowi meraup 36,62% suara, dan didaulat 
menjadi walikota Solo selama lima tahun (2005 - 2010). Tahun 2010, ia 
mencalonkan kembali, dan meraup persentase suara sebesar 90,09%. Artinya
 Jokowi berhasil membuktikan kinerjanya di Solo, dan rakyat memilihnya 
kembali. Oleh karena itulah Fadli Zon dan partai Gerindra memboyong 
Jokowi ke Jakarta untuk dicalonkan menjadi Gubernur DKI walaupun masa 
baktinya masih tiga tahun lagi, karena urgensi Jakarta sebagai ibu kota 
lebih besar. Ketika itu, ia tidak pernah melabeli Jokowi dengan sebutan 
pemimpin ingkar janji.
Terakhir, saya ingin mengutip pesan Pak 
Anies Baswedan, “Kalau Anda ingin menjadi pemimpin, lakukan sesuatu bagi
 rakyat, lakukan kerja untuk masyarakat. Bukan semata-mata menggunakan 
dana untuk berkampanye dengan nilai yang fantastis. Dana yang sama bisa 
dilakukan untuk petani, nelayan, untuk pendidikan, daripada untuk 
beriklan selama bertahun-tahun. Kita membutuhkan orang yang bukan 
memburu kekuasaan. Berikan amanat itu justeru kepada orang yang tidak 
memburu amanat itu.”
Saya tidak punya afiliasi dengan partai 
politik manapun. Saya juga bukan bagian dari tim sukses manapun. 
Sejujurnya saya ingin bergabung dengan tim relawan Jokowi, namun 
kesibukan saya yang cukup padat dalam 2 – 3 bulan ke depan membuat saya 
tidak bisa melakukannya. Namun demikian, mudah-mudahan tulisan sederhana
 ini bisa memberikan pencerahan bagi teman-teman yang masih galau dalam 
menentukan pilihannya.
Sebagian orang berkata percuma kita 
menulis, toh hasilnya tidak akan memiliki dampak apa-apa. Siapa sih yang
 akan baca tulisan kita, paling cuma segelintir orang dibanding julah 
pemilih yang hampir 185 juta orang. Walaupun prosentasenya hanya 
1/1.000.000, namun saya tetap memilih untuk menulis. Karena walaupun 
amat sangat kecil, saya ingin ikut serta berkontribusi dalam membangun 
negeri ini. Saya menulis semua ini atas inisiatif dan kesadaran pribadi,
 tanpa ada insentif sepeser pun dari pihak manapun.
Bagi yang 
merasa tulisan ini membawa manfaat, silahkan disebarkan. Tidak perlu 
minta ijin kepada saya. Mudah-mudahan PEMILU 2014 berjalan lancar dan 
damai, dan kita dikaruniai oleh Allah SWT pemimpin yang bisa membawa 
Indonesia ke arah yang lebih baik. Amien.
Dari Bandung untuk Indonesia,Maulana M. Syuhada
Pengunjung setia perpus ITB
posting asli disini


Tidak ada komentar